Genggam
Tanganku
Karya Nur
Rahmah
Mentari
mulai menampakkan sinarnya pada dunia. Mengganti kegelapan dengan cahaya terang
untuk setiap insan. Aku memulai hari dengan langkah malas menuju kamar mandi,
“Kak,
sudah bangun?” ucap Lusi.
“Oh,
baru saja. Kamu sudah mandi, dik?” ucapku.
“Tentu
kak. Selesai kakak mandi, mari kita
sarapan bersama”.
“Baik,
” ucapku dengan santai.
Rumah
kami memang tidak terlalu besar, karena suara adikku, yaitu Lusi masih dapat
kudengar. Suara merdunya ketika menyanyi, memang kadang membuatku terhipnotis
dan terkagum padanya. Teringat aku pernah menyuruhnya mengikuti kontes
menyanyi, namun dia menolaknya. Sehingga aku tidak pernah lagi ingin mencoba
membujuknya untuk mengikuti kontes menyanyi.
“Kak,
cepat mandinya. Nanti makanannya dingin” Lamunanku buyar karena teriakkan
adikku.
“Iya,
iyaaa! Ini sudah selasai” ucapku.
Segera
aku menyelesaikan mandi, lalu berpakaian dengan rapi. Setelah itu pergi menuju
dapur.
“Kak,
ayo makan” ucapnya dengan senyum manis. Setelah aku duduk di kursi, dia
menghidangkan makanan untukku. “Mau minum teh atau kopi, Kak?!” tanyanya.
“Kopi
saja,” ucapku.
“Kak,
minggu depan aku akan mengikuti perjalanan wisata bersama dengan teman
sekolahku. Apa kakak mengizinkan aku untuk pergi?”
“Tentu,
asalkan kau bisa menjaga dirimu ketika berada di sana nantinya.”
“Namun
masih ada masalah, Ka!”
“Masalah
apa itu?” tanyaku.
“Perjalanan
wisata itu tidak gratis, kita tidak memiliki uang, bukan!?” ungkapnya.
“Berapa
biaya perjalanan wisata itu? Lusi”
“Dua
ratus ribu rupiah, Kak. Apakah sebaiknya aku tak ikut saja?”
“Kapan
terakhir pembayarannya?” tanyaku kembali.
“Kamis
depan, Kak”
“Baiklah,
kalau begitu rabu akan kakak serahkan uangnya padamu. Kamu tidak perlu
khawatir, belajar saja yang rajin, ya!”
“Terima
kasih, Kak”
Setelah
mendengar bahwa Lusi akan memerlukan uang, aku kembali memutar otakku.
Bagaimana caranya agar dia bisa mengikuti perjalanan wisata, tentu aku tidak
ingin mengecewakan adikku satu-satunya. Semoga saja aku bisa selalu membahagiakan
adikku, gumamku dalam hati.
Dalam
perjalanan menuju sekolah, aku terus saja memikirkan bagaimana cara agar
mendapatkan uang. Setibanya di sekolah, aku langsung mendaftar segala pekerjaan
yang mungkin aku lakukan demi mendaptkan uang untuk Lusi.
“Aldiii,
tolong bacakan cerita pendek yang telah kamu buat” ucap Ibu Rozaline. Lamunanku
langsung buyar, segera aku membacakan cerita pendek yang telah aku buat.” Semua
teman-teman bertepuk tangan, aku pun heran, bukankah cerita yang aku buat tidak
terlalu menarik, namun ternyata dugaanku salah. Mereka sangat menyukai cerita
pendekku.
“Bagus
sekali, Al. mungkin nantinya kamu bisa menjadi seorang penulis. Ibu rasa,
cerita pendekku sangat luar biasa, bagaimana kalau kamu kirim ke majalah atau
surat kabar?”
“Terima
kasih, bu. Saya tidak pernah terpikirkan hal itu. Nanti akan saya coba” ucapku.
Sepulang
sekolah, aku kembali memikirkan apa yang telah dikatakan oleh Ibu Rozaline,
bagaimana caranya agar ceritaku dapat dijual dan menghasilkan uang. Kulihat
kamarku begitu berantakan, namun aku teringat akan sebuah cerita seram. Apa mungkin
cerita seperti itu akan laku, segera aku mengambil laptop lalu menulis segala
yang ada dalam pikiranku.
“Kakak
sedang apa?!” ucap Lusi. Aku sama sekali tidak menyadari kehadirannya.
“Sedang
membuat cerita pendek, kamu mau membantu?”
“Apa
yang bisa aku bantu, Kak? Aku tidak bisa
membuat cerita yang menarik” jawabnya.
“Kamu
bisa memberikan komentar tentang cerita yang akan aku buat, bisa kan?”
“Tentu.
Itu untuk tugas ya, Kak?!”
“Bukan.
Aku ingin mencoba mengirim ceritaku ke surat kabar maupun majalah. Semoga saja laku dan kita bisa dapat uang
nantinya.”
“Semoga
saja, Kak. Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu” kata-kata yang diucapkan Lusi
membuatku tersentak, membuatku teringat saat kejadian dimana ibu meninggal.
Kami tidak pernah mengenal sosok ayah. Sejak kecil ayah sudah pergi dan hilang
tanpa kami ketahui keberadaannya. Sudah lima tahun sejak meninggalnya ibu, Aku
lah yang memiliki tugas untuk merawat adikku. Kami berdua tinggal pada sebuah
rumah kecil milik kedua orang tua kami, sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari
kami mendapatkannya dari uang pensiunan ibu dan sebagian dari hasil kerjaku
yang tak seberapa. Memang sangat menyedihkan hidup kami, namun aku tak pernah
ingin membuat Lusi menangis, karena itu lah aku harus bersungguh-sungguh
belajar di sekolah, agar nantinya aku bisa mendapatkan pekerjaan yang menetap
dan bisa merawat Lusi.
“Kak,
sedang melamun apa?” ucapnya dengan lembut serta memegang tanganku.
“Ah,
hanya teringat saat ibu masih ada” ucapku.
“Aku
juga merindukan ibu, Kak!”dia memelukku serta terlihat air matanya menetes
membasahi bajuku, segera aku mengalihkan pembicaraan tentang ibu. Aku tidak mau
melihat dia menangis dan terluka karena masa lalu kami.
“Lusi,
aku sudah mendapatkan setengah dari uang perjalanan wisatamu. Kamu mau
menyimpannya sendiri?” ucapku.
“Tapi
dua hari lagi adalah batas untuk membayarnya. Apa sebaiknya aku batalkan saja
rencana perjalanan wisata itu?”
“Jangan
kamu pikir kakak tidak mampu menjagamu Lusi. Dalam dua hari ke depan, kakak pasti
akan mendapatkan uang. Kakak berjanji padamu” ucapku.
Dengan
penuh kasih sayang, kubelai rambutnya yang panjang, kupandangi wajahnya yang
manis. Dia lah alasanku untuk hidup selama ini. aku tak pernah membayangkan
jika Lusi tak ada di sampingku, mungkin aku akan lebih menderita daripada
sekarang. Hari-hariku akan sunyi jika pada saat itu Tuhan juga mengambil Lusi,
maka dari itu aku akan menjaga Lusi dengan baik. Itulah janji yang aku buat
pada ibu dan diriku sendiri.
Besok
adalah hari dimana Lusi harus membayar biaya perjalanan wisata tersebut. Aku
sangat bingung, karena baik dari
pihak surat kabar maupun majalah tak ada satu pun yang memberikan kabar tentang
honor ceritaku. Sepulang dari sekolah, aku segera ingin pulang ke rumah, lalu
membicarakan hal ini dengan Lusi, bahwa akhirnya aku tidak bisa menepati
janjiku. Sepanjang perjalanan aku memikirkan hal itu. Brukk….
“Kakak!!!”
Lusi segara menghampiriku. Mataku terasa sangat berat, mulutku tak mampu
berbicara, samar-samar kulihat banyak orang berkerumun dan aku melihat Lusi
diantara kerumunan tersebut.
“Kakak,
jangan tinggalkan aku.”
“Kakak,
jangan tinggalkan aku.”
“Kakak,
jangan tinggalkan aku” terdengar suara serak Lusi memanggi namaku. Aku
mendengar suaranya, namun aku tidak bisa menjawabnya. Tubuhku sangat tidak berdaya,
aku bagaikan mayat hidup yang terbaring. Sungguh Lusi…
“Jangan
menangis, aku masih ada di sini”ucapku dalam hati. “Aku akan selalu menjagamu, Hentikan
tangisanmu.” Genggam tanganku, Lusi. Aku tak akan pernah mati, karena hanya
kamu alasanku untuk hidup. Hanya kamu oh adikku, sayang.