position:fixed;bottom:0px; right:0px;

hii

Rabu, 15 Maret 2017

Genggam Tanganku



Genggam Tanganku
Karya Nur Rahmah

Mentari mulai menampakkan sinarnya pada dunia. Mengganti kegelapan dengan cahaya terang untuk setiap insan. Aku memulai hari dengan langkah malas menuju kamar mandi,
“Kak, sudah bangun?” ucap Lusi.
“Oh, baru saja. Kamu sudah mandi, dik?” ucapku.
“Tentu kak.  Selesai kakak mandi, mari kita sarapan bersama”.
“Baik, ” ucapku dengan santai.
Rumah kami memang tidak terlalu besar, karena suara adikku, yaitu Lusi masih dapat kudengar. Suara merdunya ketika menyanyi, memang kadang membuatku terhipnotis dan terkagum padanya. Teringat aku pernah menyuruhnya mengikuti kontes menyanyi, namun dia menolaknya. Sehingga aku tidak pernah lagi ingin mencoba membujuknya untuk mengikuti kontes menyanyi.
“Kak, cepat mandinya. Nanti makanannya dingin” Lamunanku buyar karena teriakkan adikku.
“Iya, iyaaa! Ini sudah selasai” ucapku.
Segera aku menyelesaikan mandi, lalu berpakaian dengan rapi. Setelah itu pergi menuju dapur.
“Kak, ayo makan” ucapnya dengan senyum manis. Setelah aku duduk di kursi, dia menghidangkan makanan untukku. “Mau minum teh atau kopi, Kak?!” tanyanya.
“Kopi saja,” ucapku.
“Kak, minggu depan aku akan mengikuti perjalanan wisata bersama dengan teman sekolahku. Apa kakak mengizinkan aku untuk pergi?”
“Tentu, asalkan kau bisa menjaga dirimu ketika berada di sana nantinya.”
“Namun masih ada masalah, Ka!”
“Masalah apa itu?” tanyaku.
“Perjalanan wisata itu tidak gratis, kita tidak memiliki uang, bukan!?” ungkapnya.
“Berapa biaya perjalanan wisata itu? Lusi”
“Dua ratus ribu rupiah, Kak. Apakah sebaiknya aku tak ikut saja?”
“Kapan terakhir pembayarannya?” tanyaku kembali.
“Kamis depan, Kak”
“Baiklah, kalau begitu rabu akan kakak serahkan uangnya padamu. Kamu tidak perlu khawatir, belajar saja yang rajin, ya!”
“Terima kasih, Kak”
Setelah mendengar bahwa Lusi akan memerlukan uang, aku kembali memutar otakku. Bagaimana caranya agar dia bisa mengikuti perjalanan wisata, tentu aku tidak ingin mengecewakan adikku satu-satunya. Semoga saja aku bisa selalu membahagiakan adikku, gumamku dalam hati.
Dalam perjalanan menuju sekolah, aku terus saja memikirkan bagaimana cara agar mendapatkan uang. Setibanya di sekolah, aku langsung mendaftar segala pekerjaan yang mungkin aku lakukan demi mendaptkan uang untuk Lusi.
“Aldiii, tolong bacakan cerita pendek yang telah kamu buat” ucap Ibu Rozaline. Lamunanku langsung buyar, segera aku membacakan cerita pendek yang telah aku buat.” Semua teman-teman bertepuk tangan, aku pun heran, bukankah cerita yang aku buat tidak terlalu menarik, namun ternyata dugaanku salah. Mereka sangat menyukai cerita pendekku.
“Bagus sekali, Al. mungkin nantinya kamu bisa menjadi seorang penulis. Ibu rasa, cerita pendekku sangat luar biasa, bagaimana kalau kamu kirim ke majalah atau surat kabar?”
“Terima kasih, bu. Saya tidak pernah terpikirkan hal itu. Nanti akan saya coba” ucapku.
Sepulang sekolah, aku kembali memikirkan apa yang telah dikatakan oleh Ibu Rozaline, bagaimana caranya agar ceritaku dapat dijual dan menghasilkan uang. Kulihat kamarku begitu berantakan, namun aku teringat akan sebuah cerita seram. Apa mungkin cerita seperti itu akan laku, segera aku mengambil laptop lalu menulis segala yang ada dalam pikiranku.
“Kakak sedang apa?!” ucap Lusi. Aku sama sekali tidak menyadari kehadirannya.
“Sedang membuat cerita pendek, kamu mau membantu?”
“Apa  yang bisa aku bantu, Kak? Aku tidak bisa membuat cerita yang menarik” jawabnya.
“Kamu bisa memberikan komentar tentang cerita yang akan aku buat, bisa kan?”
“Tentu. Itu untuk tugas ya, Kak?!”
“Bukan. Aku ingin mencoba mengirim ceritaku ke surat kabar maupun majalah.  Semoga saja laku dan kita bisa dapat uang nantinya.”
“Semoga saja, Kak. Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu” kata-kata yang diucapkan Lusi membuatku tersentak, membuatku teringat saat kejadian dimana ibu meninggal. Kami tidak pernah mengenal sosok ayah. Sejak kecil ayah sudah pergi dan hilang tanpa kami ketahui keberadaannya. Sudah lima tahun sejak meninggalnya ibu, Aku lah yang memiliki tugas untuk merawat adikku. Kami berdua tinggal pada sebuah rumah kecil milik kedua orang tua kami, sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari kami mendapatkannya dari uang pensiunan ibu dan sebagian dari hasil kerjaku yang tak seberapa. Memang sangat menyedihkan hidup kami, namun aku tak pernah ingin membuat Lusi menangis, karena itu lah aku harus bersungguh-sungguh belajar di sekolah, agar nantinya aku bisa mendapatkan pekerjaan yang menetap dan bisa merawat Lusi.
“Kak, sedang melamun apa?” ucapnya dengan lembut serta memegang tanganku.
“Ah, hanya teringat saat ibu masih ada” ucapku.
“Aku juga merindukan ibu, Kak!”dia memelukku serta terlihat air matanya menetes membasahi bajuku, segera aku mengalihkan pembicaraan tentang ibu. Aku tidak mau melihat dia menangis dan terluka karena masa lalu kami.
“Lusi, aku sudah mendapatkan setengah dari uang perjalanan wisatamu. Kamu mau menyimpannya  sendiri?” ucapku.
“Tapi dua hari lagi adalah batas untuk membayarnya. Apa sebaiknya aku batalkan saja rencana perjalanan wisata itu?”
“Jangan kamu pikir kakak tidak mampu menjagamu Lusi. Dalam dua hari ke depan, kakak pasti akan mendapatkan uang. Kakak berjanji padamu” ucapku.
Dengan penuh kasih sayang, kubelai rambutnya yang panjang, kupandangi wajahnya yang manis. Dia lah alasanku untuk hidup selama ini. aku tak pernah membayangkan jika Lusi tak ada di sampingku, mungkin aku akan lebih menderita daripada sekarang. Hari-hariku akan sunyi jika pada saat itu Tuhan juga mengambil Lusi, maka dari itu aku akan menjaga Lusi dengan baik. Itulah janji yang aku buat pada ibu dan diriku sendiri.
Besok adalah hari dimana Lusi harus membayar biaya perjalanan wisata tersebut. Aku sangat          bingung, karena baik dari pihak surat kabar maupun majalah tak ada satu pun yang memberikan kabar tentang honor ceritaku. Sepulang dari sekolah, aku segera ingin pulang ke rumah, lalu membicarakan hal ini dengan Lusi, bahwa akhirnya aku tidak bisa menepati janjiku. Sepanjang perjalanan aku memikirkan hal itu. Brukk….
“Kakak!!!” Lusi segara menghampiriku. Mataku terasa sangat berat, mulutku tak mampu berbicara, samar-samar kulihat banyak orang berkerumun dan aku melihat Lusi diantara kerumunan tersebut.
“Kakak, jangan tinggalkan aku.”
“Kakak, jangan tinggalkan aku.”
“Kakak, jangan tinggalkan aku” terdengar suara serak Lusi memanggi namaku. Aku mendengar suaranya, namun aku tidak bisa menjawabnya. Tubuhku sangat tidak berdaya, aku bagaikan mayat hidup yang terbaring. Sungguh Lusi…
“Jangan menangis, aku masih ada di sini”ucapku dalam hati. “Aku akan selalu menjagamu, Hentikan tangisanmu.” Genggam tanganku, Lusi. Aku tak akan pernah mati, karena hanya kamu alasanku untuk hidup. Hanya kamu oh adikku, sayang.